Monday, March 27, 2006

Yaa pokoknya begitu

Waktu pulang kampung kemaren, sering banget terdengar kalimat yang jadi judul di atas itu. Gw pulang kampung karena adik gw kawinan. Bagi keluarga gw dan keluarga besan ini adalah yang pertama kali buat mereka mengadakan acara kawinan. Dulu....baik adik gw maupun bokap nyokap gw punya pikiran yang sejalan, yaitu perkawinan yang akan diadakan ini sebaiknya sederhana saja. Ga usah terlalu mewah dan magrong-magrong. Yang penting sah secara hukum dan agama. Dan hal ini diungkapkan dengan gamblang oleh adik gw ke ortu cowoknya. Waktu itu mereka hanya manggut-manggut. Baiklah, terserah kalian saja. Yang mau menikah kan kalian. Yang menjalaninya nanti kan kalian.

Bijaksana, ya...

Seiring dengan segala persiapan perkawinan, para orang tua (ortu gw dan ortu co adik gw) dan generasi tua di keluarga dua belah pihak ternyata mendapat ide-ide baru. Atau sebenarnya itu ide lama yang baru muncul? Ga tau juga. Tanggal perkawinan yang awalnya direncanakan secepatnya sesudah co adik gw bebas dari masa tidak-boleh-menikah-dulu-sebelum-genap-setahun-bekerja-di-kantornya jadi mundur satu bulan karena masa itu berakhir di bulan Suro. Ketika para generasi muda bertanya kenapa ga boleh menikah di bulan Suro? Mereka menjawab bulan Suro itu bulan buruk, nanti kalian jadi susah rejeki. Kenapa? Kok bisa? Yaa pokoknya begitu...

Ok, no biggie. Karena bagi adik gw dan calon suaminya yang penting mereka tetap menikah.

Lalu ada acara lamaran. Brarti yang harus keluarga gw persiapkan adalah hantaran balasan. Karena rekomendasi dari banyak pihak, nyokap dan adik memilih satu katering yang udah pengalaman buat ngurusin makanan untuk acara kawinan, lamaran dan sejenisnya. Sesudah memilih makanan-makanan yang enak dan pasti kami suka, sang Ibu Katering bertanya kok ga ada tetel (uli) dan wajik? Ibu dan adik balas bertanya, "Lho memangnya harus ada ya?"
Jawabannya, "Iya, dong. Tetel dan wajik itu simbol supaya kedua mempelai tetap lengket sampai akhir hayat." Ooo....

Alasan yang lucu (buat kami), tapi karena cukup masuk akal (dimasuk-masukin sih) dan demi menjaga perasaan sang Ibu Katering, tetel dan wajik pun dipesan. Masing-masing sebaki penuh! Selamat Menikmati!

Mungkin suatu saat nanti tetel dan wajik bisa diganti dengan permen karet ya...kan sama-sama lengket.

Menjelang hari akad dan resepsi, tiba2 ada pertanyaan dari ortu keluarga cowok, "Pas akad nanti sebaiknya kami datang atau tidak?" Hah? That's a weird question. Karena bagi kami jawabannya cuma satu, ya datang dong. Kenapa ga boleh datang?
Jawabnya, "Karena kata orang-orang tua dulu, orang tua keluarga cowok tidak usah datang ke perkawinan anaknya."
Kenapa?
"Yaa pokoknya begitu"

Sekali ini adik gw ga mau nurut. "Adat mana itu? Adat Jawa? Jawa mana? Kenapa bisa ada adat kayak gitu? Kok aneh. Ada anaknya yang mau kawin kok ga mau datang. Apa kata orang nanti? Bisa-bisa dianggap perkawinan ini ga disetujui ama mereka." Bener juga kan?

Benar saja, pada waktu akad ortu co hampir ga jadi datang. Waktu paman, bibi, om, tante, saudara dan sepupu pihak keluarga laki2 datang, sang ortu tidak kelihatan sama sekali. Kayaknya buat mereka argumen adik gw (beberapa om dari keluarga co) ga ngaruh sama sekali. Sang ortu baru muncul sesudah Bapak KUA bertanya mana orang tua penganten laki-laki. Yang lucu, sang ortu muncul 10 menit setelah ditelepon dengan dandanan kebaya lengkap dengan sanggulnya. Ternyata kayaknya mereka sendiri bersikap mendua, pengen datang tapi kata orang tua dulu ga boleh. Repot ya kalo harus nurutin adat tapi ga ngerti apa sesungguhnya alasan dibalik adat itu.

Beberapa hari sesudahnya, gw, adik, dan nyokap ngobrol2. Kami ngebahas adat yang tidak membolehkan ortu co untuk datang ke perkawinan anaknya. Nyokap gw bilang gini, "Sebenernya ibu tau soal adat itu. Dulu Yang Ti juga kayak gitu pas kawinannya Pakdhe Gatot. Itu tuh sebetulnya untuk melihat keberanian dan kemandirian sang anak laki-laki ketika dia meminta pacarnya untuk dijadiin istri. Gitu. Tapi, buat ibu, karena ibu sudah melihat keberanian dan kemandirian itu ada di suami adik gw, jadi adat yang itu ga usah dijalanin juga gapapa. Lagian yang kayak gitu-gitu udah ga jaman lah."
Oalaah... Gitu tho ceritanya.

Trus ada lagi yang lain. Beberapa hari sesudah acara resepsi, gw, adik dan suaminya pergi ke rumah Eyang di kota penghasil Ledre. Mumpung ada di situ, kami juga mengunjungi Pakdhe dan Budhe. Trus Pakdhe nanya gini ke pengantin baru, "Kalian kok udah jalan-jalan sih?"
"Lha, emang kenapa, Pakdhe?" kata adik.
"Ya, kalo kata orang dulu kan kalo belum sepasar pengantin itu belum boleh keluar rumah." jawab Pakdhe.
"Iya, sih. Denger-denger juga gitu. Kata Mama juga gitu. Tapi, kalo nunggu sepasar baru ke sini nanti keburu cutinya si Mas abis. Emang kenapa sih kok ga boleh pergi-pergi sebelum sepasar?" kata adik lagi.
"Dulu sih katanya nanti rejekinya jadi kurang. Tapi itu dulu lho ya. sekarang sih udah ga jaman ya yang kayak gitu2. Dulu Pakdhe malah lebih repot. Orang tua Budhe kan rumahnya ada di kota Pecel, kalo mau sowan ke sana dari sini kita kan harus ngelewatin gunung Pegat. Nah, kalo pengantin baru itu ga boleh lewat deket2 gunung Pegat sebelum 40 hari. Nanti bisa-bisa pengantinnya jadi pegatan (cerai). Jadi, dulu Pakdhe ama Budhe harus nunggu 40 hari dulu baru bisa sowan ke rumah mertua Pakdhe. Repot ya." jawab Pakdhe.

Kami cuma cengar-cengir aja denger ceritanya Pakdhe. Kalo nurutin adat "sepasar" itu, brarti pengantin baru harus ngedekem di rumah selama 5 hari dong. Kalo gitu ga bisa bulan madu ke luar rumah dong, ga bisa pergi kerja sebelum 5 hari itu habis dong.... Kalo orang kantoran dan ga dapet cuti selama itu, gimana?

Ternyata, (kadang2) jadi orang Jawa yang sebenar-benarnya itu repot ya....

1 comment:

M. Lim said...

Ahaha
Mama, Mama harus mengaku kalau Mama ini adalah gajah jawa yang sudah punah (hantu dong)
Keluarga Nenek Gajah dulu sepertinya adalah jenis yang cuek bebek. Jadi upacara2 saat Nenek Gajah berkeluarga, dan perhelatan resmi pertama Mama Gajah selaku bayi gajah (saat itu) adalah diprakarsai oleh nenek Mama Gajah (hwarakadah! Bingung kan!) Bahkan nenek Mama ini marah2 waktu Mama divaksin DPT yang mengakibatkan panas. Almarhumah nenek Mama berkata "lha wong bocah sehat-sehat kok digawe loro!"
Ternyata dari tiga cucu nenek mama yang lahir berdekatan, hanya Mama Gajah yang terhindar dari Pertusis, yang dua lagi batuk-batuk. Itulah kemajuan teknologi kesehatan.

Lalu setelah Mama Gajah datang bulannya, dan berpacaran secara so sweet dengan jenis gajah Menado, mendadak Nenek Gajah berkata "nanti kamu saya modali tikar, meja kecil, dan meja makan isi prasmanan buat kawinan."
Sontak Mama Gajah terperanjat lantaran Mama Gajah masih berusia 180 bulan purnama! Apa itu??

Eniwey, kemudian pacar terakhir Mama Gajah adalah jagal abilowo dari negeri Kangguru. Lantas Mama Gajah ingin menikah di catatan sipil saja. Ternyata putus kan... apa mau dikata...

Sekarang Mama Gajah jomblo. Tapi kepingin nikah sih masih...
nikah tamasya asyik juga, apalagi kalau tamasyanya keliling dunia. Tapi bert, kemarin browsing... bekpeking dari Indonesia itu kaya' eek ya! Jadi mungkin Mama Gajah mau pergi ke Afrika dan nyamar jadi Gajah Afrika, terus ikut Safari deh!

Wajik itu enak kalo dicemil asalkan nggak sebaki dihabisin sendirian.
Berkenaan dengan Tetel, ada suatu kisah romantis antara Mama Gorila, tetangga Mama Gajah, mengenai hal ini. Suatu hari dia ngeceng pemuda putih tampan. Karena berhasrat, Mama Gorila pun menyapa "hai, suka ketan bakar juga ya?"

Sungguh aneh.
Sebetulnya nggak nyambung itu.
Tapi ya sudahlah

Peluk cium dari Mama
ttd
GAJAH